Masjid Turen merupakan sebuah pondok pesantren. Nama Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah adalah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah), yang terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim Gang Anggur No.10, RT 07 / RW 06 Desa Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang.
Menurut salah seorang panitia, ponpes tersebut artinya segarane,
segara, madune, Fadhole Rohmat. Rintisan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah ini
dimulai pada 1963 oleh Romo Kyai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh
Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kyai Ahmad.
Ponpes ini dibangun sejak tahun 1978 di areal seluas 4 hektare, dan kira-kira baru 1,5 hektare dari luas tanah itu yang digunakan untuk bangunan utamanya. Arsitektur bangunannya sangat menawan. Sangat serius. Ini terlihat di setiap detail ornamennya. Benar-benar tak disangka, jika di sebuah desa kecil Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang berdiri sebuah bangunan yang arsitekturnya yang bisa membuat hati berdecak kagum. Begitu datang ke sini, pengunjung akan disambut oleh sebuah wahana demi wahana, dari melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di dalam bangunan pondok pesantren ini, sampai keluar. Dari tingkat pertama sampai dengan tingkatnya yang ke sepuluh.
Lebih dari itu, arsitektur yang dipakai bukan hasil ilmu dan imajinasi seorang arsitek yang handal. Tapi dari hasil istikharah si pemilik pondok, KH Ahmad Bahru Mafdlaludin Soleh. Bangunan ini tidak dapat diperkirakan jadinya, sekarang sudah 10 lantai dibangun, bisa jadi nanti ditambah atau bisa-bisa dikurangi. Karena semua tergantung istikharah Romo Kyai (Kyai Ahmad, pen.). Romo Kyai juga yang ngepaskan amalan-amalan. Mungkin karena itu, banyak berita bahwa bangunan ini adalah masjid tiban (tiba-tiba ada). Padahal ini bukan masjid tapi ponpes, Gus Alief (santri) berkata “tiap hari selalu datang pengunjung dari berbagai kota ke ponpes ini. Di buku tamu pun berbagai komentar tentang keindahan ponpes ini tertulis. Bahkan, tak jarang ada yang mengaku tersentuh hatinya ketika memasuki sebuah ruang. Tiap orang berbeda.”
Sejak tahun 1978, Kyai Ahmad murid Kiai Sahlan di Sidoarjo ini memilih Turen untuk mendirikan ponpesnya. Sejak itulah, dengan dibantu oleh para santrinya, Kiai Ahmad memulai pembangunan ponpes dengan alat pertukangan sederhana dan proses belajar sendiri. Jadi jangan heran kalau akhirnya santri-santrinya punya spesialis ketrampilan. Santri Kiai Ahmad sekarang ada 32 yang sudah berkeluarga dan tinggal di sini. Jadi bisa dihitung tambahan santrinya. Sedang yang belum berkeluarga ada 37 orang. Semua santri itulah yang menjadi tukang sekaligus mandor bangunan ini. Mereka bekerja tidak menggunakan alat-alat berat modern. Semua dikerjakan sendiri.
Dengan belajar langsung dalam pembangunan ponpes inilah para santri diajar mengaji kehidupan sehari-hari. Mereka yang sudah berkeluarga pun yang belum akan memiliki peran sendiri-sendiri Di ponpes ini, orang bertabiat A sampai Z ada. Di sinilah mereka tersentuh hatinya. Dengan ikut berpartisipasi ini mereka mengamalkan ajaran cinta bukan pahala.
Harus diakui, lamanya proses pembagunan ponpes ini mengisyaratkan perlunya kesabaran dan keikhlasan. Tiap detil ornamen harus digarap dengan sabar dan teliti. Selain pekerjaan yang tak mudah itu, sebagai tukang, para santri juga bukan orang yang dibayar. Keikhlasanlah yang akhirnya menjadi oase di dalam hatinya. “Semua itu tentu saja sumbernya dari cinta. Dalam agama kita diajarkan itu semua. Dengan menjalani itu semua para santri membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati. Kalau raganya yang sakit, datang ke sini maka yang disembuhkan adalah hatinya dulu,” urai Gus Alief. Sesudah itu semua, yang tak boleh dilupakan adalah ibadah syukur. “Ngibadah syukur tidak ada berhentinya. Yang tidak bisa, ya kita doakan saja.” Pungkas Gus Alief.
Ponpes ini dibangun sejak tahun 1978 di areal seluas 4 hektare, dan kira-kira baru 1,5 hektare dari luas tanah itu yang digunakan untuk bangunan utamanya. Arsitektur bangunannya sangat menawan. Sangat serius. Ini terlihat di setiap detail ornamennya. Benar-benar tak disangka, jika di sebuah desa kecil Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang berdiri sebuah bangunan yang arsitekturnya yang bisa membuat hati berdecak kagum. Begitu datang ke sini, pengunjung akan disambut oleh sebuah wahana demi wahana, dari melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di dalam bangunan pondok pesantren ini, sampai keluar. Dari tingkat pertama sampai dengan tingkatnya yang ke sepuluh.
Lebih dari itu, arsitektur yang dipakai bukan hasil ilmu dan imajinasi seorang arsitek yang handal. Tapi dari hasil istikharah si pemilik pondok, KH Ahmad Bahru Mafdlaludin Soleh. Bangunan ini tidak dapat diperkirakan jadinya, sekarang sudah 10 lantai dibangun, bisa jadi nanti ditambah atau bisa-bisa dikurangi. Karena semua tergantung istikharah Romo Kyai (Kyai Ahmad, pen.). Romo Kyai juga yang ngepaskan amalan-amalan. Mungkin karena itu, banyak berita bahwa bangunan ini adalah masjid tiban (tiba-tiba ada). Padahal ini bukan masjid tapi ponpes, Gus Alief (santri) berkata “tiap hari selalu datang pengunjung dari berbagai kota ke ponpes ini. Di buku tamu pun berbagai komentar tentang keindahan ponpes ini tertulis. Bahkan, tak jarang ada yang mengaku tersentuh hatinya ketika memasuki sebuah ruang. Tiap orang berbeda.”
Sejak tahun 1978, Kyai Ahmad murid Kiai Sahlan di Sidoarjo ini memilih Turen untuk mendirikan ponpesnya. Sejak itulah, dengan dibantu oleh para santrinya, Kiai Ahmad memulai pembangunan ponpes dengan alat pertukangan sederhana dan proses belajar sendiri. Jadi jangan heran kalau akhirnya santri-santrinya punya spesialis ketrampilan. Santri Kiai Ahmad sekarang ada 32 yang sudah berkeluarga dan tinggal di sini. Jadi bisa dihitung tambahan santrinya. Sedang yang belum berkeluarga ada 37 orang. Semua santri itulah yang menjadi tukang sekaligus mandor bangunan ini. Mereka bekerja tidak menggunakan alat-alat berat modern. Semua dikerjakan sendiri.
Dengan belajar langsung dalam pembangunan ponpes inilah para santri diajar mengaji kehidupan sehari-hari. Mereka yang sudah berkeluarga pun yang belum akan memiliki peran sendiri-sendiri Di ponpes ini, orang bertabiat A sampai Z ada. Di sinilah mereka tersentuh hatinya. Dengan ikut berpartisipasi ini mereka mengamalkan ajaran cinta bukan pahala.
Harus diakui, lamanya proses pembagunan ponpes ini mengisyaratkan perlunya kesabaran dan keikhlasan. Tiap detil ornamen harus digarap dengan sabar dan teliti. Selain pekerjaan yang tak mudah itu, sebagai tukang, para santri juga bukan orang yang dibayar. Keikhlasanlah yang akhirnya menjadi oase di dalam hatinya. “Semua itu tentu saja sumbernya dari cinta. Dalam agama kita diajarkan itu semua. Dengan menjalani itu semua para santri membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati. Kalau raganya yang sakit, datang ke sini maka yang disembuhkan adalah hatinya dulu,” urai Gus Alief. Sesudah itu semua, yang tak boleh dilupakan adalah ibadah syukur. “Ngibadah syukur tidak ada berhentinya. Yang tidak bisa, ya kita doakan saja.” Pungkas Gus Alief.
No comments:
Post a Comment