Ada banyak cerita lisan dan tulisan tentang tokoh besar bahariawan dunia ini yang sanggup membuat Anda berdecak kagum. Sosoknya bahkan seakan tampil sebagai manusia yang nyaris sempurna yang hanya pantas ada di alam mitos. Jasa terbesar Cheng Ho adalah telah menjalin persahabatan antara negeri Tiongkok (China) dengan negara atau kerajaan di belahan lain di dunia ini dengan pertukaran kebudayaan yang masih dapat Anda saksikan hingga dewasa ini, termasuk di Nusantara.
Nah, sekarang ada memori yang menggugah tentang Cheng Ho saat Anda berkunjung ke Surabaya. Sebuah bangunan masjid indah di tengah kota bernama Masjid Cheng Ho. Masjid ini adalah bentuk penghormatan kepada Laksamana Cheng Ho yang telah berjasa dalam misi politik perdamaian bahari, perdagangan, dan akulturasi budaya yang mengagumkan.
Masjid Cheng Ho adalah tempat yang tepat untuk Anda yang ingin berwisata arsitektur sekaligus wisata budaya secara bersamaan. Anda akan menikmati keindahan ornamen China yang berpadu dengan nuansa lokal di masjid ini. Arsitekturnya menyerupai kelenteng secara jelas menunjukkan identitas Muslim Tionghoa (Islam China). Masjid Cheng Ho merupakan masjid yang memiliki keunikan tersendiri dibangun dengan perpaduan unsur budaya China dan budaya Islam. Cheng Ho datang ke Surabaya abad ke-15, karena masa itu Surabaya merupakan pelabuhan penting. Selain di Surabaya, di Palembang juga ada masjid serupa dengan nama Masjid Cheng Ho Palembang atau Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang.
Masjid Cheng Ho didirikan atas prakarsa pengurus PITI (Pembina Imam Tauhid Islam), pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur, dan tokoh masyarakat China di Surabaya. Diarsiteki Ir. Abdul Aziz dengan mengambil inspirasi dari Masjid Niu Jie di Beijing, China yang dibangun tahun 996 Masehi. Bentuknya mirip kelenteng tempat ibadah agama Tri Dharma. Warna masjid mencerminkan unsur budaya dari China seperti merah, kuning, biru dan hijau. Dalam kepercayaan Tionghoa, warna merah adalah simbol kebahagiaan, warna kuning adalah simbol kemasyuran, warna biru adalah simbol harapan, dan warna hijau adalah simbol kemakmuran. Terdapat relief naga dan patung singa dari lilin, serta di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk. Kompleks Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun di atas tanah seluas 3.070 meter persegi.
Masjid Cheng Ho adalah tempat yang tepat untuk Anda yang ingin berwisata arsitektur sekaligus wisata budaya secara bersamaan. Anda akan menikmati keindahan ornamen China yang berpadu dengan nuansa lokal di masjid ini. Arsitekturnya menyerupai kelenteng secara jelas menunjukkan identitas Muslim Tionghoa (Islam China). Masjid Cheng Ho merupakan masjid yang memiliki keunikan tersendiri dibangun dengan perpaduan unsur budaya China dan budaya Islam. Cheng Ho datang ke Surabaya abad ke-15, karena masa itu Surabaya merupakan pelabuhan penting. Selain di Surabaya, di Palembang juga ada masjid serupa dengan nama Masjid Cheng Ho Palembang atau Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang.
Masjid Cheng Ho didirikan atas prakarsa pengurus PITI (Pembina Imam Tauhid Islam), pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur, dan tokoh masyarakat China di Surabaya. Diarsiteki Ir. Abdul Aziz dengan mengambil inspirasi dari Masjid Niu Jie di Beijing, China yang dibangun tahun 996 Masehi. Bentuknya mirip kelenteng tempat ibadah agama Tri Dharma. Warna masjid mencerminkan unsur budaya dari China seperti merah, kuning, biru dan hijau. Dalam kepercayaan Tionghoa, warna merah adalah simbol kebahagiaan, warna kuning adalah simbol kemasyuran, warna biru adalah simbol harapan, dan warna hijau adalah simbol kemakmuran. Terdapat relief naga dan patung singa dari lilin, serta di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk. Kompleks Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun di atas tanah seluas 3.070 meter persegi.
Masjid Cheng Ho di kenal sebagai masjid pertama di indonesia yang menggunakan nama muslim Tionghoa. Bangunannya bernuansa etnik dan antik cukup menonjol dibandingkan bentuk masjid lain pada umumnya di Indonesia. Masjid Cheng Ho memiliki kolom sederhana dan dinding dilapisi keramik bermotif batu bata. Di beberapa bagian ada ornamen horizontal berwarna hijau tua dan biru muda. Pewarnaan itu diulang juga pada bentukan kuda-kuda pada bagian interior. Atap utama masjid ini bersusun tiga lapis menyerupai bentuk pagoda. Pada puncaknya terdapat lafaz "Allah". Sedangkan mahkota pada ujung atap lebih condong pada gaya arsitektur Hindu-Jawa. Ada juga bukaan lengkung pada dinding, sebuah ciri khas arsitektur India dan Arab. Pada bagian dalam masjid, terdapat podium guna menghindari kelembapan. Podium Masjid Cheng Ho dibagi dua, tinggi dan rendah. Podium yang lebih tinggi terletak pada bangunan utama. Sedangkan yang rendah berada di sayap kanan dan kiri bagian utama masjid. Masjid Muhammad Cheng Ho juga memiliki 8 sudut bagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Angka 11 untuk ukuran Kabah. Angka 9 melambangkan Wali Songo, serta angka 8 melambangkan Pat Kwa yaitu angka keberuntungan dalam budaya Tionghoa. Anak tangga di bagian serambi masjid berjumlah 5, representasi rukun Islam. Sedangkan anak tangga di bagian dalam masjid berjumlah 6, representasi rukun iman. Ruangan yang dipergunakan oleh imam untuk memimpin sholat dan khotbah didesain seperti pintu gereja untuk menunjukkan perpaduan arsitektur dan penghormatan perbedaan agama. Masjid ini dibangun dengan konsep tanpa pintu sebagai simbol keterbukaan. Seakan memberi pesan bahwa siapa pun, dari etnis apapun, berhak menggunakan masjid ini untuk beribadah.
Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun atas gagasan H. M. Y. Bambang Sujanto Pembina Imam Tauhid Islam (PITI). Dibangun 10 Maret 2002 dan rampung serta diresmikan 13 Oktober 2002. Peletakan batu pertama tanggal 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra Mikraj. Sedangkan pembangunannya dilaksanakan 10 Maret 2002. Masjid ini diresmikan Menteri Agama Republik Indonesia saat itu Prof. Dr. Said Agil Husain Al-Munawar, MA. tanggal 28 Mei 2003. Didirikan diatas tanah seluas 21 x 11 meter persegi, luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Ukurannya sekitar 200 meter persegi dan mampu menampung 200 jamaah. Dana yang digunakan untuk pembangunanya adalah total 3,3 miliar rupiah. Masjid ini dikelola PITI Korwil Jawa Timur dan Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia.
Cheng Ho sendiri merupakan bahariawan terbesar sepanjang sejarah dan tidak bisa dilepaskan dengan Islam dan Nusantara. Kisah pelayarannya tidak hanya menorehkan jejak sejarah yang mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya, tetapi juga telah mengilhami ratusan karya ilmiah baik fiksi maupun non-fiksi serta penemuan berbagai teknologi navigasi kelautan dan perkapalan di Eropa. Dari pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku “Zheng He's Navigation Map” yang telah mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Di dalamnya memuat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Karena ekspedisi laut Cheng Ho-lah maka jalur perdagangan Tiongkok dan dunia Timur dan Barat berubah, yaitu tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing dan Bukhara.
Kapal yang ditumpangi Cheng Ho yaitu “Kapal Pusaka” merupakan kapal terbesar abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton. Model kapal itu menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal. Desainnya megah, tahan terhadap badai, serta dilengkapi teknologi navigasi canggih pada masanya seperti kompas magnetik. Armada pelayarannya berjumlah 62 kapal besar dengan 225 junk atau kapal berukuran lebih kecil dengan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk di dalamnya ahli astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa, ahli geografi, para tabib, juru tulis dan intelektual agama. Cheng Ho mengorganisir armada dengan rapi. Kapal-kapalnya terdiri atas Kapal Pusaka (induk), kapal kuda (untuk mengangkut barang-barang dan kuda), kapal perang, kapal bahan makanan, dan kapal duduk (kapal komando), serta kapal-kapal pembantu. Awak kapalnya ada yang bertugas di bagian komando, teknis navigasi, militer, dan logistik.
Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun atas gagasan H. M. Y. Bambang Sujanto Pembina Imam Tauhid Islam (PITI). Dibangun 10 Maret 2002 dan rampung serta diresmikan 13 Oktober 2002. Peletakan batu pertama tanggal 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra Mikraj. Sedangkan pembangunannya dilaksanakan 10 Maret 2002. Masjid ini diresmikan Menteri Agama Republik Indonesia saat itu Prof. Dr. Said Agil Husain Al-Munawar, MA. tanggal 28 Mei 2003. Didirikan diatas tanah seluas 21 x 11 meter persegi, luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Ukurannya sekitar 200 meter persegi dan mampu menampung 200 jamaah. Dana yang digunakan untuk pembangunanya adalah total 3,3 miliar rupiah. Masjid ini dikelola PITI Korwil Jawa Timur dan Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia.
Cheng Ho sendiri merupakan bahariawan terbesar sepanjang sejarah dan tidak bisa dilepaskan dengan Islam dan Nusantara. Kisah pelayarannya tidak hanya menorehkan jejak sejarah yang mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya, tetapi juga telah mengilhami ratusan karya ilmiah baik fiksi maupun non-fiksi serta penemuan berbagai teknologi navigasi kelautan dan perkapalan di Eropa. Dari pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku “Zheng He's Navigation Map” yang telah mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Di dalamnya memuat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Karena ekspedisi laut Cheng Ho-lah maka jalur perdagangan Tiongkok dan dunia Timur dan Barat berubah, yaitu tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing dan Bukhara.
Kapal yang ditumpangi Cheng Ho yaitu “Kapal Pusaka” merupakan kapal terbesar abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton. Model kapal itu menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal. Desainnya megah, tahan terhadap badai, serta dilengkapi teknologi navigasi canggih pada masanya seperti kompas magnetik. Armada pelayarannya berjumlah 62 kapal besar dengan 225 junk atau kapal berukuran lebih kecil dengan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk di dalamnya ahli astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa, ahli geografi, para tabib, juru tulis dan intelektual agama. Cheng Ho mengorganisir armada dengan rapi. Kapal-kapalnya terdiri atas Kapal Pusaka (induk), kapal kuda (untuk mengangkut barang-barang dan kuda), kapal perang, kapal bahan makanan, dan kapal duduk (kapal komando), serta kapal-kapal pembantu. Awak kapalnya ada yang bertugas di bagian komando, teknis navigasi, militer, dan logistik.
Sejak 1405 hingga wafatnya, Cheng Ho telah melakukan pelayaran antar benua selama 7 kali berturut-turut dari 37 negara dalam kurun waktu 28 tahun. Berbagai negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pernah disinggahinya. Pelayarannya 87 tahun lebih awal dibanding Columbus. Juga lebih dulu juga dibanding bahariwan dunia lainnya seperti Vasco da Gama yang berlayar dari Portugis ke India tahun 1497. Ferdinand Magellan yang merintis pelayaran mengelilingi bumi pun kalah duluan 114 tahun. Bila dijumlah dengan kapal kecil, rata-rata pelayarannya mengerahkan 200-an kapal. Sementara Columbus, ketika menemukan benua Amerika mengerahkan 3 kapal dan awak 88 orang. Berbeda dengan bahariwan Eropa yang berbekal semangat imperialis, Armada raksasa Cheng Ho tidak berniat menduduki tempat-tempat yang disinggahinya. Mereka hanya mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming, menyebarluaskan pengaruh politik dan agama ke negeri asing, serta mendorong perniagaan Tiongkok.
Armada Cheng Ho mengunjungi berbagai pelabuhan di Nusantara dan Samudera Hindia sampai ke Sri Langka, Quilon (Selandia Baru), Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Magadisco dan Malindi. Dari Campa hingga India, dan dari sepanjang Teluk Persia dan Laut Merah hingga pesisir Kenya. Dilihat dari kuantitas dan waktu, secara jelas ekspedisi Cheng Ho jauh melampaui para pelaut dan penjelajah mana pun di Eropa seperti Chistopher Columbus, Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, atau Francis Dranke.
Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, Cheng Ho menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut saat ini tersimpan di MuseumBanda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka. Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon. Ketika menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong yang merupakan kepercayaan Cheng Ho mengalami sakit keras sehingga memilih menetap di Pantai Simongan, Semarang. Mereka tinggal di sebuah goa, sebagian lagi membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Selain itu membangun Kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Perjalanan di Tuban (Jawa Timur) kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tata cara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Hal yang sama juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik. Lawatan diSurabaya, Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke Mojokerto yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Di kraton, Raja Majapahit, Wikramawardhana, berkenan mengadakan pertemuan dengan rombongan Cheng Ho.
Tujuan ekspedisi Cheng Ho selain adalah memperkenalkan dan menguatkan kebesaran Dinasti Ming ke seluruh dunia juga untuk menyebarkan agama Islam dan memberi dukungan bagi imigran Tionghoa agar menjalin hubungan akrab dengan penduduk setempat. Itu dikarenakan banyak pedagang asal Tiongkok yang beragama Islam bermukim di wilayah pantai utara Jawa. Dalam dakwahnya, Cheng Ho menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang dikunjunginya. Cheng Ho sangat menanamkan rasa persaudaraan pada setiap daerah yang dikunjunginya seperti membangun tempat peribadatan yang menunjukkan adanya sinkretisme antara Islam, budaya lokal, dan Tionghoa.
Armada Cheng Ho mengunjungi berbagai pelabuhan di Nusantara dan Samudera Hindia sampai ke Sri Langka, Quilon (Selandia Baru), Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Magadisco dan Malindi. Dari Campa hingga India, dan dari sepanjang Teluk Persia dan Laut Merah hingga pesisir Kenya. Dilihat dari kuantitas dan waktu, secara jelas ekspedisi Cheng Ho jauh melampaui para pelaut dan penjelajah mana pun di Eropa seperti Chistopher Columbus, Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, atau Francis Dranke.
Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, Cheng Ho menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut saat ini tersimpan di MuseumBanda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka. Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon. Ketika menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong yang merupakan kepercayaan Cheng Ho mengalami sakit keras sehingga memilih menetap di Pantai Simongan, Semarang. Mereka tinggal di sebuah goa, sebagian lagi membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Selain itu membangun Kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Perjalanan di Tuban (Jawa Timur) kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tata cara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Hal yang sama juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik. Lawatan diSurabaya, Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke Mojokerto yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Di kraton, Raja Majapahit, Wikramawardhana, berkenan mengadakan pertemuan dengan rombongan Cheng Ho.
Tujuan ekspedisi Cheng Ho selain adalah memperkenalkan dan menguatkan kebesaran Dinasti Ming ke seluruh dunia juga untuk menyebarkan agama Islam dan memberi dukungan bagi imigran Tionghoa agar menjalin hubungan akrab dengan penduduk setempat. Itu dikarenakan banyak pedagang asal Tiongkok yang beragama Islam bermukim di wilayah pantai utara Jawa. Dalam dakwahnya, Cheng Ho menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang dikunjunginya. Cheng Ho sangat menanamkan rasa persaudaraan pada setiap daerah yang dikunjunginya seperti membangun tempat peribadatan yang menunjukkan adanya sinkretisme antara Islam, budaya lokal, dan Tionghoa.
-
No comments:
Post a Comment