Tuesday, 31 March 2015

Kabupaten Sidoarjo

Sidoarjo dulu dikenal sebagai pusat Kerajaan Janggala. Pada masa kolonialisme Hindia Belanda, daerah Sidoarjo bernama Sidokare, yang merupakan bagian dari Kabupaten Surabaya. Daerah Sidokare dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom yang dibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Pangabahan. Pada 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare. Sidokare dipimpin R. Notopuro (kemudian bergelar R.T.P. Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan. Ia adalah putra dari R.A.P. Tjokronegoro, Bupati Surabaya. Pada tanggal 28 Mei 1859, nama Kabupaten Sidokare yang memiliki konotasi kurang bagus diubah namanya menjadi Kabupaten Sidoarjo.
Setelah R. Notopuro wafat tahun 1862, maka kakak almarhum pada tahun 1863 diangkat sebagai bupati, yaitu Bupati R.T.A.A. Tjokronegoro II yang merupakan pindahan dari Lamongan. Pada tahun 1883 Bupati Tjokronegoro pensiun, sebagai gantinya diangkat R.P. Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya 3 bulan saja menjabat sebagai Bupati karena wafat pada tahun itu juga, dan R.A.A.T. Tjondronegoro I diangkat sebagai gantinya.
Di masa Pedudukan Jepang (8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945), daerah delta Sungai Brantas termasuk Sidoarjo juga berada di bawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang (yaitu oleh Kaigun, tentara Laut Jepang). Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu. Permulaan bulan Maret 1946 Belanda mulai aktif dalam usaha-usahanya untuk menduduki kembali daerah ini. Ketika Belanda menduduki Gedangan, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan Sidoarjo ke Porong. Daerah Dungus (Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan Belanda. Tanggal 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo dengan serangan dari jurusan Tulangan. Sidoarjo jatuh ke tangan Belanda hari itu juga. Pusat pemerintahan Sidoarjo lalu dipindahkan lagi ke daerah Jombang.
Pemerintahan pendudukan Belanda (dikenal dengan nama Recomba) berusaha membentuk kembali pemerintahan seperti pada masa kolonial dulu. Pada November 1948, dibentuklah Negara Jawa Timur salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Sidoarjo berada di bawah pemerintahan Recomba hingga tahun 1949. Tanggal 27 Desember 1949, sebagai hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kembali Negara Jawa Timur kepada Republik Indonesia, sehingga daerah delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.
Wilayah Kabupaten Sidoarjo berada di dataran rendah. Sidoarjo dikenal dengan sebutan Kota Delta, karena berada di antara dua sungai besar pecahan Kali Brantas, yakni Kali Mas dan Kali Porong. Kota Sidoarjo berada di selatan Surabaya, dan secara geografis kedua kota ini seolah-olah menyatu.

Kondisi geologi Sidoarjo terdiri dari Daratan Alluvium, Formasi Kabuh, dan Pucangan. Untuk wilayah perairan, Sidoarjo tidak berada pada jalur sesar aktif ataupun berhadapan langsung dengan samudera, sehingga relatif aman dari bencana alam. Berdasarkan kondisi geologi dan wilayah perairannya, Sidoarjo dikategorikan kawasan yang relatif aman terhadap bencana Gempa bumi.

Batas Wilayah Kabupaten Sidoarjo, sebelah Utara :Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Selatan : Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, Barat : Kabupaten Mojokerto, Timur: Selat Madura.









Kota Surabaya

Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, Indonesia sekaligus menjadi kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di Jawa Timur. Kota ini terletak 789 km sebelah timur Jakarta, atau 426 km sebelah barat laut Denpasar, Bali. Surabaya terletak di tepi pantai utara pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa.
Surabaya memiliki luas sekitar 333,063 km² dengan penduduknya berjumlah 2.813.847 jiwa (2014). Daerah metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, adalah metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya dilayani oleh Bandar Udara Internasional Juanda, Pelabuhan Tanjung Perak, dan Pelabuhan Ujung.
Surabaya secara geografis berada pada 07˚09`00“ – 07˚21`00“ Lintang Selatan dan 112˚36`- 112˚54` Bujur Timur. Luas wilayah Surabaya meliputi daratan dengan luas 333,063 km km² dan lautan seluas 190,39 km km².Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Kata Surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran antara sura (ikan hiu) dan baya (buaya) dan akhirnya menjadi kota Surabaya.
Surabaya terletak di tepi pantai utara provinsi Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan dengan Selat Madura di Utara dan Timur, Kabupaten Sidoarjo di Selatan, serta Kabupaten Gresik di Barat. Surabaya berada pada dataran rendah, ketinggian antara 3 - 6 m di atas permukaan laut kecuali di bagian Selatan terdapat 2 bukit landai yaitu di daerah Lidah dan Gayungan ketinggiannya antara 25 - 50 m di atas permukaan laut dan di bagian barat sedikit bergelombang. Struktur tanah di Surabaya terdiri dari tanah aluvial, hasil endapan sungai dan pantai, dan di bagian barat terdapat perbukitan yang mengandung kapur tinggi. Di Surabaya terdapat muara Kali Mas, yakni satu dari dua pecahan Sungai Brantas. Kali Mas adalah salah satu dari tiga sungai utama yang membelah sebagian wilayah Surabaya bersama dengan Kali Surabaya dan Kali Wonokromo. Areal sawah dan tegalan terdapat di kawasan barat dan selatan kota, sedangkan areal tambak berada di kawasan pesisir timur dan utara.

Masjid Ampel Surabaya

Masjid Ampel adalah sebuah masjid kuno yang terletak di kelurahan Ampel, kecamatan Semampir, kota SurabayaJawa Timur. Masjid seluas 120 x 180 meter persegi ini didirikan pada tahun 1421 oleh Sunan Ampel, yang didekatnya terdapat kompleks pemakakaman Sunan Ampel.
Masjid yang saat ini menjadi salah satu objek wisata religi di kota Surabaya ini, dikelilingi oleh bangunan berarsitektur Tiongkok dan Arab disekitarnya. Disamping kiri halaman masjid, terdapat sebuah sumur yang diyakini merupakan sumur yang bertuah, biasanya digunakan oleh mereka yang meyakininnya untuk penguat janji atau sumpah.

Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya

Masjid Nasional Al Akbar (atau biasa disebut Masjid Agung Surabaya) ialah masjid terbesar kedua di Indonesia yang berlokasi di Kota Surabaya,Jawa Timur setelah Masjid Istiqlal di Jakarta. Posisi masjid ini berada di samping Jalan Tol Surabaya-Porong. Ciri yang mudah dilihat adalah kubahnya yang besar didampingi 4 kubah kecil yang berwarna biru. Serta memiliki satu menara yang tingginya 99 meter.
Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan Wali Kota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan Masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Namun karena krisis moneterpembangunannya dihentikan sementara waktu. Tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan selesai tahun 2001. Pada 10 November 2000, Masjid ini diresmikan oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid.
Secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah 22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor di Syah Alam (Malaysia). Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid tinggi dan besar dan mihrabnya adalah mihrab masjid terbesar di Indonesia.

Masjid Cheng Ho Surabaya

Ada banyak cerita lisan dan tulisan tentang tokoh besar bahariawan dunia ini yang sanggup membuat Anda berdecak kagum. Sosoknya bahkan  seakan tampil sebagai manusia yang nyaris sempurna yang hanya pantas ada di alam mitos. Jasa terbesar Cheng Ho adalah telah menjalin persahabatan antara negeri Tiongkok (China) dengan negara atau kerajaan di belahan lain di dunia ini dengan pertukaran kebudayaan yang masih dapat Anda saksikan hingga dewasa ini, termasuk di Nusantara.
Nah, sekarang  ada memori yang menggugah tentang Cheng Ho saat Anda berkunjung ke Surabaya. Sebuah bangunan masjid indah di tengah kota bernama Masjid Cheng Ho. Masjid ini adalah bentuk penghormatan kepada Laksamana Cheng Ho yang telah berjasa dalam misi politik perdamaian bahari, perdagangan, dan akulturasi budaya yang mengagumkan.

Masjid Cheng Ho adalah tempat yang tepat untuk Anda yang ingin berwisata arsitektur sekaligus wisata budaya secara bersamaan. Anda akan menikmati keindahan ornamen China yang berpadu dengan nuansa lokal di masjid ini. Arsitekturnya menyerupai kelenteng secara jelas menunjukkan identitas Muslim Tionghoa (Islam China). Masjid Cheng Ho merupakan masjid yang memiliki keunikan tersendiri dibangun dengan perpaduan unsur budaya China dan budaya Islam. Cheng Ho datang ke Surabaya abad ke-15, karena masa itu Surabaya merupakan pelabuhan penting. Selain di Surabaya, di Palembang juga ada masjid serupa dengan nama Masjid Cheng Ho Palembang atau Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang.

Masjid Cheng Ho didirikan atas prakarsa pengurus PITI (Pembina Imam Tauhid Islam), pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur, dan tokoh masyarakat China di Surabaya. Diarsiteki Ir. Abdul Aziz dengan mengambil inspirasi dari Masjid Niu Jie di Beijing, China yang dibangun tahun 996 Masehi. Bentuknya mirip kelenteng tempat ibadah agama Tri Dharma. Warna masjid mencerminkan unsur budaya dari China seperti merah, kuning, biru dan hijau. Dalam kepercayaan Tionghoa, warna merah adalah simbol kebahagiaan, warna kuning adalah simbol kemasyuran, warna biru adalah simbol harapan, dan warna hijau adalah simbol kemakmuran. Terdapat relief naga dan patung singa dari lilin, serta di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk. Kompleks Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun di atas tanah seluas 3.070 meter persegi.
Masjid Cheng Ho di kenal sebagai masjid pertama di indonesia yang menggunakan nama muslim Tionghoa. Bangunannya bernuansa etnik dan antik cukup menonjol dibandingkan bentuk masjid lain pada umumnya di Indonesia.  Masjid Cheng Ho memiliki kolom sederhana dan dinding dilapisi keramik bermotif batu bata. Di beberapa bagian ada ornamen horizontal berwarna hijau tua dan biru muda. Pewarnaan itu diulang juga pada bentukan kuda-kuda pada bagian interior. Atap utama masjid ini bersusun tiga lapis menyerupai bentuk pagoda. Pada puncaknya terdapat lafaz "Allah". Sedangkan mahkota pada ujung atap lebih condong pada gaya arsitektur Hindu-Jawa. Ada juga bukaan lengkung pada dinding, sebuah ciri khas arsitektur India dan Arab. Pada bagian dalam masjid, terdapat podium guna menghindari kelembapan. Podium Masjid Cheng Ho dibagi dua, tinggi dan rendah. Podium yang lebih tinggi terletak pada bangunan utama. Sedangkan yang rendah berada di sayap kanan dan kiri bagian utama masjid. Masjid Muhammad Cheng Ho juga memiliki 8 sudut bagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Angka 11 untuk ukuran Kabah. Angka 9 melambangkan Wali Songo, serta angka 8 melambangkan Pat Kwa yaitu angka keberuntungan dalam budaya Tionghoa. Anak tangga di bagian serambi masjid berjumlah 5, representasi rukun Islam. Sedangkan anak tangga di bagian dalam masjid berjumlah 6, representasi rukun iman. Ruangan yang dipergunakan oleh imam untuk memimpin sholat dan khotbah didesain seperti pintu gereja untuk menunjukkan perpaduan arsitektur dan penghormatan perbedaan agama. Masjid ini dibangun dengan konsep tanpa pintu sebagai simbol keterbukaan. Seakan memberi pesan bahwa siapa pun, dari etnis apapun, berhak menggunakan masjid ini untuk beribadah. 

Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun atas gagasan H. M. Y. Bambang Sujanto Pembina Imam Tauhid Islam (PITI).  Dibangun 10 Maret 2002 dan rampung serta diresmikan 13 Oktober 2002. Peletakan batu pertama tanggal 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra Mikraj. Sedangkan pembangunannya dilaksanakan 10 Maret 2002. Masjid ini diresmikan Menteri Agama Republik Indonesia saat itu Prof. Dr. Said Agil Husain Al-Munawar, MA. tanggal 28 Mei 2003. Didirikan diatas tanah seluas 21 x 11 meter persegi, luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Ukurannya sekitar 200 meter persegi dan mampu menampung 200 jamaah. Dana yang digunakan untuk pembangunanya adalah total 3,3 miliar rupiah.  Masjid ini dikelola PITI Korwil Jawa Timur dan Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia.

Cheng Ho sendiri merupakan bahariawan terbesar sepanjang sejarah dan tidak bisa dilepaskan dengan Islam dan Nusantara. Kisah pelayarannya tidak hanya menorehkan jejak sejarah yang mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya, tetapi juga telah mengilhami ratusan karya ilmiah baik fiksi maupun non-fiksi serta penemuan berbagai teknologi navigasi kelautan dan perkapalan di Eropa. Dari pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku “Zheng He's Navigation Map” yang telah mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Di dalamnya memuat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Karena ekspedisi laut Cheng Ho-lah maka jalur perdagangan Tiongkok dan dunia Timur dan Barat berubah, yaitu tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing dan Bukhara.

Kapal yang ditumpangi Cheng Ho yaitu “Kapal Pusaka” merupakan kapal terbesar abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton. Model kapal itu menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal. Desainnya megah, tahan terhadap badai, serta dilengkapi teknologi navigasi canggih pada masanya seperti kompas magnetik. Armada pelayarannya berjumlah 62 kapal besar dengan 225 junk atau kapal berukuran lebih kecil dengan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk di dalamnya ahli astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa, ahli geografi, para tabib, juru tulis dan intelektual agama. Cheng Ho mengorganisir armada dengan rapi. Kapal-kapalnya terdiri atas Kapal Pusaka (induk), kapal kuda (untuk mengangkut barang-barang dan kuda), kapal perang, kapal bahan makanan, dan kapal duduk (kapal komando), serta kapal-kapal pembantu. Awak kapalnya ada yang bertugas di bagian komando, teknis navigasi, militer, dan logistik.

Sejak 1405 hingga wafatnya, Cheng Ho telah melakukan pelayaran antar benua selama 7 kali berturut-turut dari 37 negara  dalam kurun waktu 28 tahun. Berbagai negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pernah disinggahinya. Pelayarannya 87 tahun lebih awal dibanding Columbus. Juga lebih dulu juga dibanding bahariwan dunia lainnya seperti Vasco da Gama yang berlayar dari Portugis ke India tahun 1497. Ferdinand Magellan yang merintis pelayaran mengelilingi bumi pun kalah duluan 114 tahun. Bila dijumlah dengan kapal kecil, rata-rata pelayarannya mengerahkan 200-an kapal. Sementara Columbus, ketika menemukan benua Amerika  mengerahkan 3 kapal dan awak 88 orang. Berbeda dengan bahariwan Eropa yang berbekal semangat imperialis, Armada raksasa Cheng Ho tidak berniat menduduki tempat-tempat yang disinggahinya. Mereka hanya mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming, menyebarluaskan pengaruh politik dan agama ke negeri asing, serta mendorong perniagaan Tiongkok.

Armada Cheng Ho mengunjungi berbagai pelabuhan di Nusantara dan Samudera Hindia sampai ke Sri Langka, Quilon (Selandia Baru), Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Magadisco dan Malindi. Dari Campa hingga India, dan dari sepanjang Teluk Persia dan Laut Merah hingga pesisir Kenya. Dilihat dari kuantitas dan waktu, secara jelas ekspedisi Cheng Ho jauh melampaui para pelaut dan penjelajah mana pun di Eropa seperti Chistopher Columbus, Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, atau Francis Dranke.

Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, Cheng Ho menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut saat ini tersimpan di MuseumBanda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka. Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon. Ketika menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong yang merupakan kepercayaan Cheng Ho mengalami sakit keras sehingga memilih menetap di Pantai Simongan, Semarang. Mereka tinggal di sebuah goa, sebagian lagi membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung  yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Selain itu membangun Kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Perjalanan di Tuban (Jawa Timur) kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tata cara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Hal yang sama juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik. Lawatan diSurabaya, Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke Mojokerto yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Di kraton, Raja Majapahit, Wikramawardhana, berkenan mengadakan pertemuan dengan rombongan Cheng Ho.

Tujuan ekspedisi Cheng Ho selain adalah memperkenalkan dan menguatkan kebesaran Dinasti Ming ke seluruh dunia  juga untuk menyebarkan agama Islam dan memberi dukungan bagi imigran Tionghoa agar menjalin hubungan akrab dengan penduduk setempat. Itu dikarenakan banyak pedagang asal Tiongkok yang beragama Islam bermukim di wilayah pantai utara Jawa. Dalam dakwahnya, Cheng Ho menanamkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang dikunjunginya. Cheng Ho sangat menanamkan rasa persaudaraan pada setiap daerah yang dikunjunginya seperti membangun tempat peribadatan yang menunjukkan adanya sinkretisme antara Islam, budaya lokal, dan Tionghoa.
-

Monday, 30 March 2015

Masjid Turen

Masjid Turen merupakan sebuah pondok pesantren. Nama Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah adalah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah), yang terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim Gang Anggur No.10, RT 07 / RW 06 Desa Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang. Menurut salah seorang panitia, ponpes tersebut artinya segarane, segara, madune, Fadhole Rohmat. Rintisan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah ini dimulai pada 1963 oleh Romo Kyai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kyai Ahmad.
Ponpes ini dibangun sejak tahun 1978 di areal seluas 4 hektare, dan kira-kira baru 1,5 hektare dari luas tanah itu yang digunakan untuk bangunan utamanya. Arsitektur bangunannya sangat menawan. Sangat serius. Ini terlihat di setiap detail ornamennya. Benar-benar tak disangka, jika di sebuah desa kecil Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang berdiri sebuah bangunan yang arsitekturnya yang bisa membuat hati berdecak kagum. Begitu datang ke sini, pengunjung akan disambut oleh sebuah wahana demi wahana, dari melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di dalam bangunan pondok pesantren ini, sampai keluar. Dari tingkat pertama sampai dengan tingkatnya yang ke sepuluh.
Lebih dari itu, arsitektur yang dipakai bukan hasil ilmu dan imajinasi seorang arsitek yang handal. Tapi dari hasil istikharah si pemilik pondok, KH Ahmad Bahru Mafdlaludin Soleh. Bangunan ini tidak dapat diperkirakan jadinya, sekarang sudah 10 lantai dibangun, bisa jadi nanti ditambah atau bisa-bisa dikurangi. Karena semua tergantung istikharah Romo Kyai (Kyai Ahmad, pen.). Romo Kyai juga yang ngepaskan amalan-amalan. Mungkin karena itu, banyak berita bahwa bangunan ini adalah masjid tiban (tiba-tiba ada). Padahal ini bukan masjid tapi ponpes, Gus Alief (santri) berkata “tiap hari selalu datang pengunjung dari berbagai kota ke ponpes ini. Di buku tamu pun berbagai komentar tentang keindahan ponpes ini tertulis. Bahkan, tak jarang ada yang mengaku tersentuh hatinya ketika memasuki sebuah ruang. Tiap orang berbeda.”
Sejak tahun 1978, Kyai Ahmad murid Kiai Sahlan di Sidoarjo ini memilih Turen untuk mendirikan ponpesnya. Sejak itulah, dengan dibantu oleh para santrinya, Kiai Ahmad memulai pembangunan ponpes dengan alat pertukangan sederhana dan proses belajar sendiri. Jadi jangan heran kalau akhirnya santri-santrinya punya spesialis ketrampilan. Santri Kiai Ahmad sekarang ada 32 yang sudah berkeluarga dan tinggal di sini. Jadi bisa dihitung tambahan santrinya. Sedang yang belum berkeluarga ada 37 orang. Semua santri itulah yang menjadi tukang sekaligus mandor bangunan ini. Mereka bekerja tidak menggunakan alat-alat berat modern. Semua dikerjakan sendiri.
Dengan belajar langsung dalam pembangunan ponpes inilah para santri diajar mengaji kehidupan sehari-hari. Mereka yang sudah berkeluarga pun yang belum akan memiliki peran sendiri-sendiri Di ponpes ini, orang bertabiat A sampai Z ada. Di sinilah mereka tersentuh hatinya. Dengan ikut berpartisipasi ini mereka mengamalkan ajaran cinta bukan pahala.
Harus diakui, lamanya proses pembagunan ponpes ini mengisyaratkan perlunya kesabaran dan keikhlasan. Tiap detil ornamen harus digarap dengan sabar dan teliti. Selain pekerjaan yang tak mudah itu, sebagai tukang, para santri juga bukan orang yang dibayar. Keikhlasanlah yang akhirnya menjadi oase di dalam hatinya. “Semua itu tentu saja sumbernya dari cinta. Dalam agama kita diajarkan itu semua. Dengan menjalani itu semua para santri membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati. Kalau raganya yang sakit, datang ke sini maka yang disembuhkan adalah hatinya dulu,” urai Gus Alief. Sesudah itu semua, yang tak boleh dilupakan adalah ibadah syukur. “Ngibadah syukur tidak ada berhentinya. Yang tidak bisa, ya kita doakan saja.” Pungkas Gus Alief.

Saturday, 28 March 2015

Makam Sunan Bungkul

makam sunan bungkulMakam Sunan Bungkul, atau Mbah Bungkul, berada di kompleks Taman Bungkul yang lokasinya berada di tepi Jl. Raya Darmo, Surabaya. Akses ke Makam Sunan Bungkul berada di sisi belakang Taman Bungkul, melewati deretan warung yang siang itu ramai dengan pengunjung. Ada beberapa versi tentang siapa Sunan Bungkul ini, dan salah satunya menyebutkan bahwa Sunan Bungkul adalah Ki Ageng Supo, atau Mpu Supo, seorang bangsawan Majapahit yang setelah masuk Islam menggunakan nama Ki Ageng Mahmuddin.
Mbah Bungkul merupakan bagian dari kesibukan Taman Bungkul yang ramai dikunjungi warga Surabaya yang bukan hanya berkunjung ke makam, namun juga bersantap, minum kopi, atau sekadar duduk-duduk ngobrol sambil membuka laptop-nya.
Makam Sunan Bungkul merupakan bangunan cagar budaya Surabaya, seperti yang tertera pada sebuah prasasti yang berada di depan salah satu warung makanan.
Sebuah versi menyebutkan bahwa Sunan Bungkul adalah salah satu mertua Raden Paku, yang kemudian dikenal sebagai  Sunan Giri, setelah Raden Paku secara tidak sengaja memungut buah delima dari Kalimas. Tanpa diketahuinya, Sunan Bungkul telah memiliki niatan bahwa barang siapa yang menemukan buah delima itu akan ia jodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah.
Padahal Raden Paku telah dijodohkan lebih dahulu dengan puteri Sunan Ampel yang bernama Dewi Murthasiah, namun karena perjodohannya dengan Dewi Wardah mendapat restu dari Sunan Ampel, maka Raden Paku pun menikahi kedua puteri itu pada hari yang sama.
makam sunan bungkulMakam Sunan Bungkul dengan gerbang paduraksa, yang membatasi bagian luar dengan bagian tengah makam. Gerbang paduraksa adalah gerbang dengan penutup di bagian atasnya, sedangkan candi bentar merupakan gerbang tanpa penutup.
Di latar belakang adalah sebuah surau yang konon dibangun oleh Sunan Bungkul bersama dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ada yang menyebutkan bahwa Raden Rahmat pernah berguru kepada Sunan Bungkul, sehingga ada peziarah yang datang lebih dahulu ke Makam Sunan Bungkul, sebelum berziarah ke Makam Sunan Ampel. Namun demikian tidak ada nama Sunan Bungkul atau Ki Ageng Supo dalam riwayat Sunan Ampel.
Melangkah ke dalam lagi ada gapura paduraksa yang lebih kecil, menghubungkan bagian tengah dengan bagian dalam, dimana Makam Sunan Bungkul berada.
Makam Sunan Bungkul berada dalam sebuah cungkup dimana berjajar beberapa makam yang nisan dan badan kuburnya diselimuti dengan kain putih.
makam sunan bungkul
Di luar cungkup Makam Sunan Bungkul juga terdapat lagi beberapa makam yang terlihat sudah berumur tua. Di kompleks ini konon juga ada makam Makam Mbah Sholeh, pengikut Sunan Ampel yang setia, meskipun ada pula Makam Mbah Sholeh di kompleks Makam Sunan Ampel.
Makam Sunan Bungkul pada sisi sebelah kanan di dalam kompleks makam. Di dalam kompleks ini ada sebuah sumur yang airnya konon memiliki tuah bagi mereka yang mempercayainya.
Makam Sunan Bungkul kabarnya dikunjungi sekitar 100 orang setiap harinya, dan pada hari libur jumlahnya bisa mencapai ribuan, kebanyakan dari luar kota, dan ada pula yang datang dari luar pulau.
Foto di atas memperlihatkan suasana warung di dekat jalan masuk ke Makam Sunan Bungkul, yang tengah dipadati pengunjung. Di latar belakang adalah sebuah pohon beringin tua yang cukup rimbun.
makam sunan bungkulMakam Sunan Bungkul dengan pohon beringin besar yang membantu memberikan sebuah ‘suasana’ bagi para peziarah yang datang.
Makam Sunan Bungkul berada di sisi belakang Taman Bungkul yang bagian depannya terlihat pada foto di atas.
Jika nama Sunan Bungkul atau mBah Bungkul tidak saya temui selain di makam ini, maka nama Mpu Supo telah saya temui sebelumnya di Kawasan Bukit Surowiti, dimana terdapat beberapa peninggalan Sunan Kalijaga. Makam Mpu Supo di Bukit Surowiti saya jumpai setelah berkunjung ke Goa Langsih, tempat persembunyian Brandal Lokajaya.

Goa Margo Trisno Nganjuk

Goa Margo Tresno Jalan Rahasia Tentara Majapahit
Goa Margo Tresno.docx0001Goa Margo Trisno dan Sendang Ubalan hampir tak pernah sepi dari pengunjung. Mereka yang datang dari luar daerah Nganjuk, rata-rata ngalab berkah kelanggengan hidup berumah tangga. Bagaimana hasilnya?
Berada di Dusun Cabean, Desa Sugih Waras, Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk, Goa Margo Trisno terkesan sangat magis. Sepanjang perut goa, gelap gulita. Cericit ribuan kelelawar menambah seramnya suasana. Terlebih, lokasinya goa itu sendiri berada di tengah belantara hutan jati Pegunungan Kendeng.
Goa Margo Trisno hanya bisa dicapai dengan jalan kaki, menyusur jalan setapak yang cukup terjal dan mendaki. Di pintu masuk lokasi terdapat sebuah sendang. Masyarakat sekitar goa menyebut sendang itu Ubalan.
Sementara kepercayaan masyarakat menyebut-menyebut, jika ingin kehidupan rumah tangga langgeng, hendaknya ngalab berkah di Goa Margo Tresno dan mandi Ubalan. Karena kepercayaan ini, tak heran bila goa nyaris tidak pernah sepi dari pen­gunjung. Rata-rata, pengunjung goa tersebut datang secara berpasang-pasangan.
Menurut warga sekitar, goa ini pernah menjadi tempat pertapaan Raden Alip, seorang bangsawan dari Demak yang juga pengikut Sunan Kalijaga, serta kekasihnya yang bernama Nur Siti. Pasangan yang sedang dimabuk asmara itu terpaksa bertapa di goa ini lantaran percintaannya diterpa suatu masalah.
Entah karena apa, orang tua Nur Siti ingin menjadikan anak perawannya ini sebagai tumbal. Agar hal itu tidak terjadi dan hubungan mereka tetap langgeng, Raden Alib memutuskan untuk membawa lari Nur Siti dan mencari ketentraman bersama. Dalam perjalanan, mereka menemukan sebuah goa yang berada di sebuah lereng bukit.
Mereka pun akhirnya memutuskan untuk bertapa di goa ini, dan ternyata merasa mendapatkan ketentraman dan keabadian hubungan percintaan. Mereka pun mati Goa Trisno dan dimakamkan di suatu tempat yang tidak jauh dari goa. Oleh masyarakat sekitar, makam ini dikenal dengan nama Makam Tlimah.
Goa Margo Tresno.docx0002“Dari riwayat inilah nama Margo Tresno berasal. Margo berarti jalan, dan tresno berarti cinta,” kata Tasmijan (52), juru kunci Goa Trisno dan Makam Tlimah. “Meski begitu, jangan sekali-kali menyalah gunakan tempat ini untuk perbuatan yang tidak baik, bila tidak ingin mendapat celaka,” lanjut Tasmijan.
Dari cerita para leluhur Tasmijan diketahui, bahwa jauh sebelum dipakai berta­pa oleh Raden Alib dikuasai dan Nur Siti Goa Margo Tresno juga pernah dipakai prajurit Majapahit se­bagai jalan (terowongan) rahasia. Jalan ini bisa tembus sampai Bojonegoro dan Tuban Waktu itu sedang terjadi pemberontakan Ronggo lawe, agar tidak diketahui oleh musuh, pasukan Maja­pahit menggunakan lorong goa ini seba­gai jalan rahasia untuk menyusup ke wilayah Tuban dan Bojonegoro yang dikuasai Ronggolawe Adanya lorong Goa yang dipercaya tembus sampai Bo­jonegoro mungkin bukan sekedar ceri­ta. Ketika memasuki goa yang banyak dihuni kelelawar ini, kita akan menemukan dua lorong yang berlawanan arah; yang ke selatan langsung tembus ke atas (Goa Lemah Jeblong) dan satu lagi ke utara yang sampai sekarang masih menja­di misteri. Mungkin lorong yang ke utara ini lah yang bisa tembus sampai ke Bojonegoro.
Diterangkan Disparda Kabupaten Nganjuk, di sekitar goa yang ruangan depannya memiliki luas lebih kurang 15 m X 50 m ini, juga terdapat goa-goa lain seperti Goa Gondel, Goa Bale, Goa Pawon, Goa Omah dan Goa Landak. Goa-goa tersebut kemungkinan besar saling berhubungan satu sama lain.
Meski Goa Margo Tresno dipercaya membawa ketentraman dan kelanggengan rumah tangga bagi orang yang memasukinya, masyarakat sekitar ternyata tidak dapat menikmati berkah ini. Hanya orang- orang di luar wilayah Ngluyu yang bisa merasakannya. “Orang sini menganggap biasa keberadaan goa ini, tidak mempunyai arti apa-apa, orang luar yang lebih percaya bahwa bila masuk atau bersamadi di goa ini akan mendapat berkah,” kata Suwanto, salah seorang warga sekitar goa. 

Monumen Dr. Soetomo

NganjukMonumen yang menempati tanah seluas 3,5 ha ini merupakan tempat kelahiran Dr. Soetomo Secara keseluruhan kompleks bangunan ini terdiri dari patung Dr. Soetomo, Pendopo induk, yang terletak di belakang patung, dan bangunan pringgitan jumlahnya 2 buah masing-masing 6 x 12 m.
Dr.Soetomo merupakan salah satu pahlawan Pergerakan Nasional yang asli berasal dari Nganjuk. Untuk menghormati beliau dibangunlah sebuah monumen sebagai saksi sejarah tentang keberadaan dan kepahlawanannya dalam membela Nusa dan Bangsa. Dr.Soetomo lahir di Nganjuk di Desa Ngepeh Kec.Loceret. Bahkan ari-ari beliau diperkirakan tepat berada dibawah patung Dr. Soetomo yang digambarkan sedang duduk menghadap ke selatan, dan Monumen Dr.Soetomo yang ada di Desa Ngepeh tersebut sebenarnya adalah rumah dari neneknya.

Candi Ngetos

Berkas:Candi Ngetos B.JPGCandi Ngetos adalah Candi Hindu yang berada di NgetosNganjukJawa Timur. Candi ini didirikan pada abad ke-15 pada zaman kerajaan Majapahit.

Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer arah selatan kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.
Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk bulat cincin.
Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat darikayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran sebagai berikut :
  • Panjang candi (9,1 m)
  • Tinggi Badan (5,43 m)
  • Tinggi keseluruhan (10 m)
  • Saubasemen (3,25 m)
  • Besar Tangga Luar (3,75 m)
  • Lebar Pintu Masuk (0,65 m)
  • Tinggi Undakan menuju Ruang Candi (2,47 m)
  • Ruang Dalam (2,4 m).

Maulana Malik Ibrahim

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa Timur.Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari wilayah Arab Maghrib di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang'gala".
Namun, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW, melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim,  yang berarti ia adalah keturunan orang Hadrami yang berhijrah.
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik berasal dari Persia. Syeh Maulana Malik Ibrahim dan Syeh Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Syeh Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syeh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Syeh Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Berkas:MalikIbrahim1.jpgSyeh Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Syeh Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat kadang-kadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Pantai Popoh

Berkas:Popoh2.jpgPantai Popoh, adalah obyek wisata pantai yang terletak di pesisir Samudra Hindia Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Indonesia. Pantai ini merupakan salah satu obyek wisata andalan Tulungagung.
Popoh berada sekitar 30 km sebelah selatan kota Tulungagung. Kawasan Popoh berada di ujung timur Pegunungan Kidul.
Pantai popoh merupakan pantai yang telah dikembangkan dengan baik oleh P.R. Retjo Pentung. Akses menuju pantai popoh dapat ditempuh dengan aman dan nyaman melalui jalan aspal.
Pantai ini berbentuk teluk sehingga suasana tercipta suasana khas didalamnya. Air yang cukup tenang, angin laut yang tidak begitu kuat, dan keindahan gunung disekitar teluk telah menjadi daya tarik utama pantai ini.

Nasi Pecel Madiun


Nasi Pecel MadiunPecel adalah makanan yang menggunakan bumbu sambal kacang sebagai bahan utamanya yang dicampur dengan aneka jenis sayuran. Asal kata dan daerah pecel belum diketahui secara pasti, tetapi dalam bahasa Jawa, pecel dapat diartikan sebagai 'tumbuk' atau 'dihancurkan dengan cara ditumbuk'.
Pecel diperkirakan berasal dari eks-Karesidenan Madiun, Jawa Timur, karena bumbu sambal kacang yang digunakan dalam campuran pecel mirip dengan yang digunakan sebagai bumbu sate Ponorogo. Makanan ini juga mirip dengan gado-gado yang dibedakan dengan campuran bahan dan tekstur bumbunya.

Pecel merupakan makanan yang terdiri dari sayur yang direbus dan lauk yang dihidangkan dengan alas yang berbeda seperti piring lidi yang disebut ingke, pincuk, atau tampah bambu sesuai ciri khas kota asal pecel. Sayuran yang dihidangkan antara lain kacang panjang, taoge, mentimun, daun singkong, dan daun kemangi. Bumbu sambal kacang yang disiramkan di atas pecel disebut sambal pecel yang terbuat dari campuran kencur, gula merah, garam, cabai, daun jeruk purut, dan kacang tanah sangrai yang dicampur, ditumbuk, atau diulek. Selain itu, ada pula yang menambahkan daun bawang putih dan asam jawa ke dalam campuran air hangat untuk mencairkan sambal pecel. Umumnya, setiap kabupaten di Jawa Timur memiliki variasi pecel masing-masing.
Pecel di Madiun agak berbeda dari daerah lain karena dua elemen berikut:: Kembang Turi dan Lempeng. Di daerah lain, biasanya mereka menggunakan rempeyek untuk ‘kerupuk’ nya.
Nasi Pecel Madiun biasanya dihidangkan di atas pincuk (piring yang terbuat dari daun pisang) dan lebih sedap kalau dimakan langsung pake tangan!
Biasanya pecel dinikmati dengan lauk tambahan seperti empal dan jerohan (babat, usus atau paru).

Air Terjun Singokromo

Ritual Mistis di Air Terjun Singokromo NganjukSetiap bulan purnama, yakni tanggal 15 kalender jawa ritual mistis di air Terjun Singokromo Nganjuk ini masih sering dilakukan masyarakat disana. Karena hingga zaman digital ini mitos kepercayaan mengenai mistis terhadap air terjun yang berada di lereng Gunung Willis di Desa Ngliman, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur di percaya oleh warga setempat bisa menyembuhkan penyakit dan membuat enteng jodoh.

"Air Terjun Singokromo ini dulunya sangat angker, tidak ada wisatwan yag berani datang karena di jadikan tempat ritual macan kawin, makanya air terjun itu dinamakan singo yang berarti singa atau harimau, sedang kromo artinya kawin." begitu menurut agung pada tipswisatamurah.com. 

Berbeda dengan air terjun Sedudo yang berada di balik gunung Willis. pada air terjun Singokromo ini jalan menuju lokasi sekitar 1 km belum disentuh pembangunan, jadi wisatawan setiap liburan panjang yang ingin menikmati obyek wisata yang masih perawan dan alami tersebut harus rela berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Namun secara umum kedua air terjun tersebut memilliki warisan budaya yang sama, malah untuk air terjun seduda di bakukan oleh pemda setempat setiap bulon suro sering dijadikan ritual mistis untuk menarik minat wisatawan. Baca seterusnya Ada Tradisi Memandikan Arca di Air Terjun Sedudo ini.

Sebenarnya Nganjuk banyak memiliki wisata air terjun yang belum tergarap. dan selain air terjun sedudo dan singokromo di atas, masih ada 8 lagi air terjun yang mengalir dari puncak gunung Willis, namun tempat tersebut hanya warga sekitar yang baru menikmati, karena selain tempatnya harus melalui jalan setapak yang curam, lokasinya juga berada di puncak gunung yang jauh dari perkampungan 

Dan kalau Anda salah satu pecinta air terjun dan berniat eksplorasi di pegunungan willis, berikut nama nama air terjun yang bisa anda kunjungi. 
1. Air Terjun Cemoro Kandang. 
2. Air Terjun Banyuselawe 
3. Air Terjun Cagak 
4. Air Terjun Segunting 
5. Air Terjun Banyuiber 
6. Terjun Selanjur 
7. Air Terjun Jeruk 
8. Air Terjun Banyupait 

Tips : 
Pastikan anda membawa bekal secukupnya, seperti air mineral dan snack, roti, kalau perlu bawa nasi bungkus sekalian . Karena tempat tersebut jauh dari perkampugan dan belum ada pedagang kaki lima yang keliling disana. Jangan lupa mengajak pemuda kampung jadi guide supaya tidak nyasar di pegunungan willis yang masih perawan tersebut. (TWM) 

Hutan Mangrove Wonorejo

jaya1


Surabaya patut berbangga karena memiliki Hutan Mangrove Wonorejo, Rungkut. Artinya, geliat perkembangan kota segemerlap apa pun, tetap menyisakan lahan penyelamat lingkungan dari bahaya erosi dan banjir. Hutan Mangrove Wonorejo, di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), yang masih dalam tahap pengembangan oleh pemerintah kota ini, selain difungsikan sebagai bendungan juga dapat dimanfaatkan sebagai wisata air dan ekowisata. Ide pengembangan Hutan Mangrove Wonorejo ini, sekaligus sebagai upaya untuk memanfaatkan waduk untuk mengendalikan banjir.

Hutan Mangrove Wonorejo ini pun makin ditata dan dijadikan salah satu tempat referensi bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara. Hutan Mangrove Wonorejo ini memiliki potensi besar untuk menarik pengunjung datang berwisata pantai dan wisata hutan bakau yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan mangrove yang juga dapat dibudidayakan keberadaannya.

Monumen Kapal Selam

FrontMonumen Kapal Selam (Monkasel) adalah sebuah monumen Kapal Selam terbesar di kawasan Asia, yang dibangun di sisi sungai Kalimas, Surabaya. Monumen ini dibangun dengan ide para sesepuh Kapal Selam dari Angkatan Laut.

Konsep utama adalah:
  • Untuk membuat kawasan wisata baru di Jawa Timur
  • Sebagai warisan nilai sejarah yang mencerminkan Indonesia sebagai Negara Maritim
  • Untuk menjaga aman dan bertindak sebagai obyek konservasi
  • Sebagai kenangan yang didedikasikan untuk seorang pejuang pemberani yang berjuang gigih.
KRI Pasopati 410, termasuk tipe SS Whiskey Class, dibuat di Vladi Wostok Rusia pada tahun 1952. Kapal Selam ini berpartisipasi di Angkatan Laut sejak tanggal 29 Januari 1962, tugas utama adalah untuk menghancurkan garis musuh (anti-shipping), pengawasan dan melakukan penggerebekan secara diam-diam. KRI Pasopati 410telah mengambil peran besar untuk mempertahankan hukum kelautan, seperti Operasi Trikora, KRI Pasopati 410 turun ke belakang garis musuh, memberi penindasan secara psikologis.

Spesifikasi :
Pasopati 410
  • Panjang: 76,6 m
  • Lebar: 6,30 m
  • Kecepatan: 18.3 knot di atas permukaan, 13,6 knot di bawah permukaan
  • Berat penuh: 1.300 tons
  • Berat kosong: 1.050 tons
  • Kemampuan penemuan: 8.500 mil laut
  • Baterai: 224 unit
  • Bahan Bakar: Diesel
  • Persenjataan: 12 Torpedo Uap Gas
  • Panjang: 7 m
  • Baling-baling: 6 lubang
  • Awak kapal: 63 termasuk Komandan
  • KRI Pasopati memiliki jumlah 7 ruangan:
    1. Ruang untuk haluan Torpedo, dipersenjatai dengan 4 torpedo propeller, juga bertindak sebagai penyimpanan untuk torpedo
    2. Ruang Komandan, Ruang Makan, dan Ruang Kerja. Di bawah dek adalah Ruang untuk Baterai I
    3. Jembatan utama dan Pusat Komando. Penyimpanan Makanan di bawah dek
    4. Ruangan Awak Kapal, Dapur, dan penyimpanan untuk Baterai II di bawah dek
    5. Ruangan Mesin Diesel dan Terminal Mesin
    6. Kamar Mesin Listrik
    7. Ruangan Torpedo untuk bagian buritan. Berisi dengan 2 buah Torpedo.

Video Rama
Fasilitas : 
Monumen Kapal Selam KRI Pasopati 410 ini memiliki fasilitas pendukung seperti Video RamaMusik Life,Kolam Renang untuk anak-anak dan Rekreasi Air di sungai Kalimas. Sebuah Stan suvenir dan area parkir. Di dalam kompleks juga berdiri panggung besar untuk acara tertentu. Video Rama menyajikan film sinematik dan dilengkapi sistem suara stereo akan membawa imajinasi anda menyatu dengan film mengenai Kapal Selam KRI Pasopati 410 disaat menjalankan tugasnya. Sisi Sungai Kalimas adalah tempat yang bagus dan romantis bagi pasangan muda-mudi, atau sarana pendidikan bagi keluarga.

Museum Mpu Tantular

Museum Mpu Tantular merupakan museum yang dikelola oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan merupakan kelanjutan dari didirikannya lembaga kebudayaan kebudayaan Stedelijk Historisch Museum Soerabaia oleh seorang warga Surabaya yang berkebangsaan Jerman, bernama Von Vaber pada tahun 1933. Museum ini baru diresmikan pada tanggal 25 Juli 1937.
Museum Mpu Tantular awalnya terletak di Jalan Pemuda no. 3 Surabaya, dan setiap ruangan di dalam museum terbagi dalam beberapa segmen seperti, ruang koleksi, perpustakaan, kantor dan auditorium. Dalam masa kepemimpinan Von Vaber, beliau banyak mengadakan hubungan internasional menyangkut pembangunan dan perluasan museum, sayangnya Von Vaber lebih dulu meninggal pada 30 September 1955 sebelum menyelesaikan banyak hal.
Sepeninggal Von Vaber, museum tersebut tidak terawat, koleksi-koleksinya banyak yang rusak dan hilang. Kemudian museum dikelola oleh Yayasan Pendidikan Umum. Pada tahun 1964, museum ini memperoleh pendanaan dari Yayasan Bapak Prof Dr. M. Soetopo. Setelah dibentuknya Direktorat Permuseuman di lingkungan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, perhatian Pemerintah terhadap museum yang dikelola Yayasan Pendidikan Umum menjadi lebih serius.
Museum Pendidikan Umum dibuka secara umum tanggal 23 Mei 1972 dan diresmikan dengan nama "Museum Jawa Timur". Selanjutnya timbul inisiatif untuk menyerahkan Lembaga Kebudayaan ini kepada Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur.
Dalam proses penegerian, Yayasan Pendidikan Umum bekerja sama dengan perwakilan Kantor Pembinaan Permuseuman Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dan pada tanggal 1 November 1974 museum ini resmi berstatus Museum Negeri. Selanjutnya museum Jawa Timur diresmikan dengan nama "Museum Negeri Jawa Timur Mpu Tantular". Karena bertambahnya koleksi, pada pertengahan tahun 1975 Museum dipindahkan ke tempat yang lebih luas yaitu di Jalan Taman Mayangkara No. 6 Surabaya, yang diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1977 oleh Gubernur Jawa Timur Sunandar Priyosudarmo.

Museum WR SOEPRATMAN

Wage Rudolf Soepratman adalah pencipta lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya. Dia dilahirkan pada Senin 9 Maret, 1903 di Jatinegara Jakarta, ia seorang Muslim dan tidak mengikuti organisasi politik apapun. Ayahnya bernama Senen, seorang sersan di Batalyon VIII. Diasuh oleh kakak iparnya WM Van Eldik (Sastromihardjo) ia telah belajar bermain gitar dan biola.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta,diadakan sebuah Kongres Pemuda yang melahirkan 'Sumpah Pemuda'. Pada malam penutupan kongres, pada tanggal 28 Octobers 1928, Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan para peserta. Waktu itu merupakan pertama kalinya lagu Indonesia Raya ini bergema di depan publik. Semua partisipan terkejut mendengarnya. Setelah itu, Lagu Indonesia Raya selalu tidak pernah ketinggalan untuk dibawakan di setiap kongres yang berlangsung. Lagu ini merupakan perwujudan dari keinginan bersama untuk sebuah kemerdekaan.
Untuk mengenang jasa WR Soepratman, kita dapat mengunjungi museum WR Soepratman di Jalan Tambaksari Surabaya. Di Museum ini bisa dilihat tulisan asli WR Soepratman ketika ia membuat lagu Indonesia Raya pada saat pertama, dan juga biola historis yang menemaninya saat membuat beberapa lagu kebangsaan.
Lokasi museum WR Soepratmat ini juga berdekatan dengan makam beliau yang meninggal pada 17 Agustus 1938. Sejak menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya, Beliau banyak di buru oleh pihak Belanda, dan hal ini membuat beliau sakit-sakitan.
Lagu terakhir yang beliau ciptakan berjudul Matahari Terbit, dan karena lagu itu pulalah, Beliau di penjara di Kalisosok dan pada akhirnya meninggal.
Pada 26 Juni 1959, Pemerintah Regulasi 44 mengumumkan bahwa Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Indonesia.