
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama Nyai
Ageng Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari Majapahit), dan
kelak ia menjadi imam yang pertama di Mesjid Demak. Diperkirakan lahir antara
1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa pelajaran ditempuh di bawah ayahnya,
dengan saudara seperguruan Raden Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya
sendiri adalah Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya
tak berputra, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati. Konon ia dan Raden Paku
bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya berguru kepada Abdulisbar atau
Dulislam di Pasai (versi lain Wali Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di
Malaka), tetapi yang kemudian diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut
Abdul Hadi WM dalam Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993),
"Pada tahun 1503, setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya,
dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu pindah ke
Lasem. Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat tinggalnya. Di Bonang dia
mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat tafakur), sebelum akhirnya kembali
ke kampung halamannya, Tuban." Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang
memberikan Raden Sahid alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak
menjadi pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat Dermagandul
yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negative terhadap para wali,
seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa, Silang Budaya 2: Jaringan Asia
(1990), Sunan Bonang "digambarkan sebagai tokoh kasar dan tidak tahu
malu." Tentu saja ini bagian dari "politik dongeng" yang sering
bisa dilacak atas berbagai legenda, mengingat tokoh Sabdopalon dan Nayagenggong
dalam karya itu digambarkan menolak masuk Islam.

Sementara itu, sejauh cerita yang menyebut Sunan Bonang sebagai putra Sunan
Ngampel Denta bisa dipercaya, Sunan Bonang tentu tergolong keturunan orang Cam
- tepatnya keturunan orang asing yang menyebarkan Islam di Jawa. Mungkinkah ini
yang membuat orang berspekulasi bahwa nama Sunan Bonang berasal dari Lim Bun An
bahkan juga Bong Ang atau Bong Bing Nang, sementara Sunan Ngampel Denta tersebut
sebagai Bong Swie Hoo? Tentu maksudnya bahwa para wali ini adalah keturunan
Tionghoa, seperti disebut tanpa argumentasi meyakinkan dalam Tuanku Rao (1964)
oleh Mangaraja Onggang Parlindungan maupun dalam Kalidjaga (1956) oleh
Hadiwidjaja. Spekulasi ini hanya meyakinkan sejauh menyangkut Raden Patah,
sultan Demak yang pertama, seperti terbahas dalam Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar
Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV
& XVI (2003) karya Sumanto Al Qurtuby. Tentang para wali, jangankan sebagai
keturunan Tionghoa, sedangkan keberadaan mereka secara historik saja hanya bisa
dibeberkan dengan spekulasi yang sangat hati-hati, melalui analisis teliti
terhadap sumber-sumber yang nyaris merupakan dongeng. Para sejarawan lebih cenderung
merujukkan cerita tentang ketionghoaan itu, untuk menafsir fakta keberadaan
komunitas Muslim Tionghoa, yang sudah bertebaran di berbagai daerah pantai di
Jawa Timur sejak abad ke-15. Hilda Soemantri dalam Majapahit Terracotta Art (1997)
misalnya menunjuk keramik "orang berturban" di antara keramik
"orang Tartar", "Tionghoa tertawa", maupun "Tionghoa
bertopi", yang menunjukkan ketertarikan para seniman keramik Majapahit
kepada orang- orang asing, termasuk yang beragama Muslim, di daerah pantai.
Ini tentu saja mendukung "teori Cina" sebagai salah satu teori tentang
kedatangan Islam di Pulau Jawa, terutama melalui Tuban dan Gresik. Pengembara
dari Tiongkok, Ma Huan, mencatat adanya Xin Cun (Kampung Baru) di Gresik yang
berpenduduk seribu orang Tionghoa asal Guangdong dan Zhangzhou. Sebegitu jauh,
pelacakan atas keberadaan Sunan Ngampel Denta, yang disebut sebagai ayah Sunan
Bonang, hanya terujuk kepada keberadaan bangsa Cam dan terdapatnya poros Jawa Timur-Campa
- dan kitab seperti Serat Dermagandul adalah bentuk "perlawanan"
kepercayaan lama setelah Islam menjadi dominan di Jawa pada abad ke-19.
Tentang "kitab Bonang"

Sarjana Belanda B.Schrieke menulis tesis Het Boek van Bonang pada 1916,
seperti mengandaikan bahwa manuskrip yang dibahasnya adalah karya atau ajaran
Sunan Bonang. Sayang sekali bahwa penamaan "Kitab Bonang" itu tidak
dianggap tepat, juga oleh Graaf dan Pigeaud, karena tidak ada bukti meyakinkan
bahwa naskah itu memang ditulis oleh Sunan Bonang. Meski begitu, disetujui
bahwa manuskrip tersebut memberi gambaran tentang ajaran Islam macam apa yang
dominan didakwahkan pada abad ke-16, jadi mungkin pula diajarkan seorang wali
seperti Sunan Bonang, sebagai pengenalan pertama kepada orang-orang yang jika
tidak memeluk agama Buddha atau Hindu, tentu memeluk kepercayaan sebelum agama
besar yang mana pun tiba di Jawa. Tesis Schrieke itu kemudian dikoreksi oleh
Drewes, dan diberi terjemahan bahasa Inggris sebagai The Admonitions of Seh
Bari (1969). Manuskrip yang dimaksud, seperti diuraikan Abdul Hadi WM, rupanya
terdiri dari sejumlah suluk - suatu genre dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan
Madura yang memang muncul pertama kali abad ke-15 bersama penyebaran Islam.
Bukan kebetulan agaknya, karena suluk berarti jalan kerohanian, isinya adalah
ajaran-ajaran tasawuf. Dalam hal manuskrip terbincangkan ini, khususnya yang
berjudul Suluk Wujil (koreksian Purbatjaraka terhadap Schrieke yang menyebutnya
Suluk Dulil), disebutkan Purbatjaraka sebagai ajaran rahasia untuk orang-orang
tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa dipahami, seperti dapat
diperiksa dari kutipan-kutipan berikut: "Tak ada orang tahu di mana Mekkah
yang hakiki berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua
renta. Mereka tak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai
bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu
akan menjadi wali.

"Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu
orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang, maka ruangan itu
juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja. Namun jika terdapat 10.000 orang
bersembahyang di sana, maka Ka'bah dapat menampung mereka semua. Bahkan
seandainya seluruh dunia akan dimasukkan ke sana, maka seluruh dunia akan
tertampung juga." Teks seperti ini, disebutkan Abdul Hadi WM sebagai,
"... kerap menimbulkan persoalan. Baik golongan kebatinan maupun ortodoks jarang
dapat memberi tafsir yang sesuai dan bermanfaat terhadap hakikat ajaran para
sufi." Manuskrip ini disalah tafsirkan Schrieke sebagai karya Sunan
Bonang, kemungkinan besar karena tokoh bernama Sunan Bonang muncul dalam Suluk
Wujil, sebagai guru tasawuf tokoh
Wujil
yang berarti cebol. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa (1952) menduga karya
itu ditulis oleh "sastrawan Jawa yang menjadi murid sang wali".
Sementara berdasarkan penelitiannya, menurut Drewes penulisnya adalah Seh Bari
dari Karang, daerah Banten. Terutama dalam suluk tersebut, unsur-unsur
kerohanian Jawa klasik dan tasawuf Islam terpadukan. Kisahnya sendiri mewadahi
gagasan zaman peralihan: Wujil, seorang terpelajar Majapahit yang meninggalkan
aga Hindu dan beralih menjadi penganut Islam.
Dengan demikian, meski dari sudut ilmu sejarah tidak bisa dipastikan bahwa
Sunan Bonang yang menulis Suluk Wujil, dari manuskrip tersebut tergambarkan
segi-segi wajd (ekstase mistis) dan kasyf (tersingkapnya mata batin) yang akan
membawa seseorang kepadakesadaran supralogis, atau bisa disebut dimensi mistik,
yang layak diduga sebagai daya tarik bagi orang-orang Jawa abad ke-15 dan 16 untuk
menerima Islam.
No comments:
Post a Comment